Selasa, 24 Desember 2013

Menyoal Mutu Soal UN dan Rendahnya Peringkat PISA

Hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) 2012  menunjukkan sistem pendidikan Indonesia masih sangat jeblok. Dari 65 negara anggota PISA, pendidikan Indonesia berada di bawah peringkat 64.  Tingkat membaca pelajar Indonesia menempati urutan ke-61 dari 65 negara anggota PISA. Indonesia hanya mengumpulkan skor membaca 396 poin. Tingkat membaca penduduk Indonesia tertinggal dari negara tetangga, Thailand (50) dan Malaysia (52).

Untuk literasi matematika, pelajar Indonesia berada di peringkat 64 dengan skor 375. Adapun skor literasi sains berada di peringkat 64 dengan skor 382. Pada tahun ini, skor dan posisi tertinggi diraih Shanghai-China, Singapura, dan Hong Kong. Sementara tiga tempat paling bawah diraih Qatar, Indonesia, Peru. PISA merupakan studi internasional kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains yang diselenggarakan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk siswa usia 15 tahun. Indonesia sendiri sudah mengikuti studi ini sejak tahun 2000. PISA digunakan untuk mengukur kemampuan murid yang nantinya akan dijadikan dasar untuk pengambilan kebijakan pendidikan nasional. (Dikutip dari www.metrotvnews.com).
Sungguh memprihatinkan. Sudah 68 tahun merdeka, tetapi negeri besar ini masih belum juga sanggup keluar dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Di aras global, kemampuan literasi generasi masa depan negeri ini masih harus membuat sesak napas. Dari 65 negara anggota PISA, Indonesia berada peringkat 61 (membaca), 64 (Matematika), dan 64 (Sains).
Pertanyaan yang muncul, ada apa dengan dunia pendidikan kita sehingga gagal melahirkan generasi yang memadai tingkat literasinya, terutama pada ranah membaca, Matematika, dan Sains?
Rendahnya peringkat Indonesia di antara negara-negara anggota PISA seharusnya makin menguatkan tekad dan komitmen para pengambil kebijakan untuk mendesain sistem pendidikan yang benar-benar visioner dan sebisa mungkin steril dari godaan politik. Namun, diakui atau tidak, pendidikan di negeri belum menjadi sebuah dunia otonom yang bebas untuk menentukan nasibnya sendiri. Gurita politik telah demikian kuat membelit dan menelikung otak para pengambil kebijakan. Ujian Nasional (UN) dan kurikulum pendidikan kita, misalnya, masih sangat kuat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik yang beraroma fasis.
Sistem UN yang selama ini mendapat sorotan dan kritik tajam dari banyak kalangan (nyaris) tak pernah berubah. Dari tahun ke tahun, UN menjadi sebuah perhelatan rutin tahunan yang identik dengan proyek berbiaya tinggi akibat kuatnya pengaruh dan intervensi penguasa. Hasil UN dijadikan sebagai satu-satunya penentu dan tolok ukur mutu pendidikan dengan kualitas soal yang diragukan kesahihannya. Sekolah yang hasil rerata UN-nya tinggi dinilai sebagai sekolah yang berhasil. Sebaliknya, sekolah yang hasil rerata UN-nya rendah dinilai sebagai sekolah gagal.

Ironisnya, sekolah-sekolah yang nilai UN-nya tinggi dianggap telah mampu mengangkat citra dan marwah daerah sehingga layak diberikan apresiasi dan subsidi peningkatan mutu. Sedangkan, sekolah yang nilai UN-nya rendah dianggap gagal mengangkat citra dan marwah daerah sehingga cenderung diabaikan dan sama sekali tidak dilirik. Ini artinya, angka-angka UN telah ditafsirkan sebagai media pencitraan yang amat kuat aroma politiknya. Imbasnya, nilai kejujuran yang menjadi elemen penting dalam kegiatan evaluasi makin terpinggirkan. Dalam situasi seperti itu, sangat beralasan apabila plagiarisme dan menyontek berjamaah menjadi fenomena rutin yang terjadi setiap tahun.

Akibat kebijakan politik lokal yang tidak berpihak terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan terhadap sekolah-sekolah yang dinilai gagal tadi, dinamika pendidikan mengalami stagnasi dan terus mengalami pembusukan dari tahun ke tahun. Tidak berlebihan apabila mutu pendidikan kita “jalan di tempat”, bahkan kian terpuruk.
Yang lebih memprihatinkan, soal-soal UN yang seharusnya dijadikan sebagai alat yang penting dan strategis untuk menguji kompetensi siswa didik dalam bernalar berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan secara komprehensif, hanya  menampilkan soal-soal bermutu rendah dengan menggunakan soal pilihan ganda yang “gagal” menguji kemampuan bernalar dan berpikir kritis peserta didik.

Coba kita bandingkan contoh soal UN Bahasa Indonesia SMP dengan soal membaca model PISA berikut ini!

Soal UN Tahun 2011:

Saya mengucapkan selamat dan terima kasih atas kehadiran teman-teman menghadiri kegiatan pameran buku dalam rangka menyambut adik-adik kita siswakelas 7 yang baru.
[...]
Apabila dalam penyelenggaraan kegiatan ini banyak kekurangan, panitia memohon maaf.
Kalimat yang tepat untuk melengkapi isi teks pidato tersebut adalah …
A. Akhirnya kami atas nama panitia mengucapkan selamat mengunjungi pameran buku ini.
B.Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Tuhan yang telah memberikan kesehatan sehingga bisa menyelenggarakan kegiatan ini.
C. Demikian sambutan dari saya selaku Ketua Panitia semoga pameran buku ini bermanfaat
D. Pameran buku ini merupakan agenda tahunan OSIS dalam rangka memotivasi para siswa agar gemar membaca.


Soal PISA (Membaca):
Ranah Perubahan dan Hubungan
~RAK-RAK SEPATU~

Soal PISA

Perhatikan rak-rak sepatu di atas, A adalah sepatu ayah, B adalah sepatu anak, C adalah sepatu ibu.

Pertanyaan I:
Jika ayah, ibu dan anak mempunyai rak-rak sepatu sendiri, berapa maksimum jumlah sepatu yang bisa termuat pada 1 buah rak-rak sepatu?

Pertanyaan II:
Berapakah kira-kira banyak rak-rak sepatu yang dibutuhkan jika ayah memiliki 11 pasang sepatu, ibu 11 pasang sepatu, anak 11 pasang sepatu jika diharapkan sepatu ayah, ibu dan anak selalu berdampingan?
(Dikutip dari: pisaindonesia.wordpress.com)

Jika kita bandingkan kualitas kedua soal tersebut, soal UN (nyaris) tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk berpikir kritis secara mutidimensional, sedangkan soal Model PISA memberikan peluang kepada peserta didik untuk bernalar, berpikir kritis, dan menghidupkan dunia imajinasinya. Dari sisi ini, agaknya kemampuan bernalar dan berpikir kritis generasi masa depan negeri ini tidak akan pernah berkembang dengan baik apabila UN hanya menampilkan soal-soal bermutu rendah dengan trik menjawab soal secara spekulatif dan instan. Jika mutu soal UN semacam itu terus dipertahankan, bukan mustahil kompetensi generasi masa depan negeri ini akan makin jauh tertinggal dan tersalip dalam lalu-lintas peradaban global.

Rendahnya mutu soal UN diperparah dengan kurikulum pendidikan kita yang lebih mengutamakan arah konsep dan tekstual tanpa diimbangi dengan upaya pemberdayaan guru secara intensif. Guru yang berdiri di garda terdepan dalam proses pembelajaran yang seharusnya diposisikan sebagai prioritas utama dalam mengimplementasikan kurikulum pendidikan, justru hanya diposisikan sebagai pelengkap penderita. Pelatihan yang diikuti berlangsung instan; hanya didesain untuk menjadi “robot” dan tukang ajar yang gagal memahami substansi dan “roh” kurikulum yang sesungguhnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar