Selasa, 24 Desember 2013

Menyoal Mutu Soal UN dan Rendahnya Peringkat PISA

Hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) 2012  menunjukkan sistem pendidikan Indonesia masih sangat jeblok. Dari 65 negara anggota PISA, pendidikan Indonesia berada di bawah peringkat 64.  Tingkat membaca pelajar Indonesia menempati urutan ke-61 dari 65 negara anggota PISA. Indonesia hanya mengumpulkan skor membaca 396 poin. Tingkat membaca penduduk Indonesia tertinggal dari negara tetangga, Thailand (50) dan Malaysia (52).

Untuk literasi matematika, pelajar Indonesia berada di peringkat 64 dengan skor 375. Adapun skor literasi sains berada di peringkat 64 dengan skor 382. Pada tahun ini, skor dan posisi tertinggi diraih Shanghai-China, Singapura, dan Hong Kong. Sementara tiga tempat paling bawah diraih Qatar, Indonesia, Peru. PISA merupakan studi internasional kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains yang diselenggarakan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk siswa usia 15 tahun. Indonesia sendiri sudah mengikuti studi ini sejak tahun 2000. PISA digunakan untuk mengukur kemampuan murid yang nantinya akan dijadikan dasar untuk pengambilan kebijakan pendidikan nasional. (Dikutip dari www.metrotvnews.com).
Sungguh memprihatinkan. Sudah 68 tahun merdeka, tetapi negeri besar ini masih belum juga sanggup keluar dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Di aras global, kemampuan literasi generasi masa depan negeri ini masih harus membuat sesak napas. Dari 65 negara anggota PISA, Indonesia berada peringkat 61 (membaca), 64 (Matematika), dan 64 (Sains).
Pertanyaan yang muncul, ada apa dengan dunia pendidikan kita sehingga gagal melahirkan generasi yang memadai tingkat literasinya, terutama pada ranah membaca, Matematika, dan Sains?
Rendahnya peringkat Indonesia di antara negara-negara anggota PISA seharusnya makin menguatkan tekad dan komitmen para pengambil kebijakan untuk mendesain sistem pendidikan yang benar-benar visioner dan sebisa mungkin steril dari godaan politik. Namun, diakui atau tidak, pendidikan di negeri belum menjadi sebuah dunia otonom yang bebas untuk menentukan nasibnya sendiri. Gurita politik telah demikian kuat membelit dan menelikung otak para pengambil kebijakan. Ujian Nasional (UN) dan kurikulum pendidikan kita, misalnya, masih sangat kuat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik yang beraroma fasis.
Sistem UN yang selama ini mendapat sorotan dan kritik tajam dari banyak kalangan (nyaris) tak pernah berubah. Dari tahun ke tahun, UN menjadi sebuah perhelatan rutin tahunan yang identik dengan proyek berbiaya tinggi akibat kuatnya pengaruh dan intervensi penguasa. Hasil UN dijadikan sebagai satu-satunya penentu dan tolok ukur mutu pendidikan dengan kualitas soal yang diragukan kesahihannya. Sekolah yang hasil rerata UN-nya tinggi dinilai sebagai sekolah yang berhasil. Sebaliknya, sekolah yang hasil rerata UN-nya rendah dinilai sebagai sekolah gagal.

Ironisnya, sekolah-sekolah yang nilai UN-nya tinggi dianggap telah mampu mengangkat citra dan marwah daerah sehingga layak diberikan apresiasi dan subsidi peningkatan mutu. Sedangkan, sekolah yang nilai UN-nya rendah dianggap gagal mengangkat citra dan marwah daerah sehingga cenderung diabaikan dan sama sekali tidak dilirik. Ini artinya, angka-angka UN telah ditafsirkan sebagai media pencitraan yang amat kuat aroma politiknya. Imbasnya, nilai kejujuran yang menjadi elemen penting dalam kegiatan evaluasi makin terpinggirkan. Dalam situasi seperti itu, sangat beralasan apabila plagiarisme dan menyontek berjamaah menjadi fenomena rutin yang terjadi setiap tahun.

Akibat kebijakan politik lokal yang tidak berpihak terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan terhadap sekolah-sekolah yang dinilai gagal tadi, dinamika pendidikan mengalami stagnasi dan terus mengalami pembusukan dari tahun ke tahun. Tidak berlebihan apabila mutu pendidikan kita “jalan di tempat”, bahkan kian terpuruk.
Yang lebih memprihatinkan, soal-soal UN yang seharusnya dijadikan sebagai alat yang penting dan strategis untuk menguji kompetensi siswa didik dalam bernalar berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan secara komprehensif, hanya  menampilkan soal-soal bermutu rendah dengan menggunakan soal pilihan ganda yang “gagal” menguji kemampuan bernalar dan berpikir kritis peserta didik.

Coba kita bandingkan contoh soal UN Bahasa Indonesia SMP dengan soal membaca model PISA berikut ini!

Soal UN Tahun 2011:

Saya mengucapkan selamat dan terima kasih atas kehadiran teman-teman menghadiri kegiatan pameran buku dalam rangka menyambut adik-adik kita siswakelas 7 yang baru.
[...]
Apabila dalam penyelenggaraan kegiatan ini banyak kekurangan, panitia memohon maaf.
Kalimat yang tepat untuk melengkapi isi teks pidato tersebut adalah …
A. Akhirnya kami atas nama panitia mengucapkan selamat mengunjungi pameran buku ini.
B.Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Tuhan yang telah memberikan kesehatan sehingga bisa menyelenggarakan kegiatan ini.
C. Demikian sambutan dari saya selaku Ketua Panitia semoga pameran buku ini bermanfaat
D. Pameran buku ini merupakan agenda tahunan OSIS dalam rangka memotivasi para siswa agar gemar membaca.


Soal PISA (Membaca):
Ranah Perubahan dan Hubungan
~RAK-RAK SEPATU~

Soal PISA

Perhatikan rak-rak sepatu di atas, A adalah sepatu ayah, B adalah sepatu anak, C adalah sepatu ibu.

Pertanyaan I:
Jika ayah, ibu dan anak mempunyai rak-rak sepatu sendiri, berapa maksimum jumlah sepatu yang bisa termuat pada 1 buah rak-rak sepatu?

Pertanyaan II:
Berapakah kira-kira banyak rak-rak sepatu yang dibutuhkan jika ayah memiliki 11 pasang sepatu, ibu 11 pasang sepatu, anak 11 pasang sepatu jika diharapkan sepatu ayah, ibu dan anak selalu berdampingan?
(Dikutip dari: pisaindonesia.wordpress.com)

Jika kita bandingkan kualitas kedua soal tersebut, soal UN (nyaris) tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk berpikir kritis secara mutidimensional, sedangkan soal Model PISA memberikan peluang kepada peserta didik untuk bernalar, berpikir kritis, dan menghidupkan dunia imajinasinya. Dari sisi ini, agaknya kemampuan bernalar dan berpikir kritis generasi masa depan negeri ini tidak akan pernah berkembang dengan baik apabila UN hanya menampilkan soal-soal bermutu rendah dengan trik menjawab soal secara spekulatif dan instan. Jika mutu soal UN semacam itu terus dipertahankan, bukan mustahil kompetensi generasi masa depan negeri ini akan makin jauh tertinggal dan tersalip dalam lalu-lintas peradaban global.

Rendahnya mutu soal UN diperparah dengan kurikulum pendidikan kita yang lebih mengutamakan arah konsep dan tekstual tanpa diimbangi dengan upaya pemberdayaan guru secara intensif. Guru yang berdiri di garda terdepan dalam proses pembelajaran yang seharusnya diposisikan sebagai prioritas utama dalam mengimplementasikan kurikulum pendidikan, justru hanya diposisikan sebagai pelengkap penderita. Pelatihan yang diikuti berlangsung instan; hanya didesain untuk menjadi “robot” dan tukang ajar yang gagal memahami substansi dan “roh” kurikulum yang sesungguhnya

Minggu, 16 September 2012

Kumpulan e-Book Pendidikan

TATA CARA PENYUSUNAN RKAL-KL,DIPA 2013 DAN TOR


TATA CARA PENYUSUNAN RKAL-KL,DIPA 2013 DAN TOR



Kumpulan ebook lainnya :

Hati-hati, Jangan Tertipu Kisi-kisi Soal UN


Penulis : Indra Akuntono | Minggu, 16 September 2012 | 11:51 WIB

Shutterstock Ilustrasi
JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat diimbau untuk berhati-hati dan tidak mempercayai kisi-kisi atau bocoran soal ujian nasional (UN) yang diperjualbelikan bebas di pasaran. Pasalnya, tidak akan ada kisi-kisi atau kunci jawaban UN yang diperjualbelikan terlebih dengan embel-embel akurasi yang tinggi.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Chairil Anwar Notodiputro menyampaikan, kisi-kisi UN 2013 tidak disajikan dalam bentuk butir-butir soal. Akan tetapi, kisi-kisi yang diberikan hanya menampilkan judul, atau panduan mengenai materi apa saja yang akan diujikan.

"Kami tidak mengeluarkan kisi-kisi UN dalam bentuk butiran soal. Tapi hanya tor-nya saja, bukan latihan soal. Hati-hati jika ada pihak yang coba menipu dengan iming-iming akurasi tinggi," kata Chairil kepada Kompas.com, Sabtu (15/9/2012), di Jakarta.

Kisi-kisi soal UN akan dijadikan landasan untuk pembuatan soal ujian. Bersama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Kemendikbu terus berkoordinasi menggodok kisi-kisi tersebut. Rencananya, kisi-kisi UN akan disosialisasikan kepada seluruh siswa pada Oktober bulan depan. Semua tergantung keputusan dari BSNP atas draf kisi-kisi yang direkomendasikan oleh Kemendikbud.

Mengenai jumlah soalnya, telah ditentukan bahwa UN 2013 menggunakan 20 tipe soal. Diharapkan, banyaknya jenis soal akan menyulitkan siswa untuk mencontek sekaligus menekan tingkat kecurangan demi menjaga dan meningkatkan kredibilitas UN.
Editor :
Caroline Damanik

Simpang Siurnya Data Pokok Pendidikan...


Penulis : Indra Akuntono | Jumat, 14 September 2012 | 10:49 WIB

M.LATIEF/KOMPAS.COM Ilustrasi: data pokok pendidikan.
JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam beberapa tahun ini, pemerintah banyak melakukan terobosan di dunia pendidikan. Akan tetapi, semua inisiatif dilaksanakan sebelum data pokok pendidikan (dapodik) tersaji dengan mantap.

Pada pelaksanaannya, tak sedikit masalah yang muncul. Faktor pemicu terbesar adalah ketidaksiapan lapangan karena para "jugador-nya" seperti tak memiliki bekal data yang valid dan akurat, baik di tingkat daerah, maupun pusat.

Dimulai dengan program beasiswa biaya pendidikan mahasiswa berprestasi, atau sering dipendekkan menjadi bidik misi. Santunan istimewa ini pertama kali diberikan kepada 20 ribu mahasiswa di tahun 2010. Berdasarkan catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sampai triwulan pertama 2012, jumlah penerimanya telah mencapai 90 ribu mahasiswa.

Jumlah itu terus bertambah seiring dengan dimulainya tahun akademik baru. Karena rencana awalnya, plafon bidik misi di setiap tahun mencapai 20 ribu mahasiswa walau tak menutup kemungkinan ada penambahan di tengah perjalanan. Tentunya hanya untuk mereka para mahasiswa yang benar-benar miskin tapi mampu secara akademik untuk mengikuti perkuliahan.

Niat baik tentu perlu diapresiasi, akan tetapi ada hal serius yang perlu diperhatikan, yaitu kelemahan data sehingga memicu pemberian bidik misi yang salah sasaran. Mahasiswa yang mampu secara finansial juga ikut mendaftar sebagai calon penerima beasiswa tersebut. Realitanya, tak sedikit mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN) yang tidak tergolong miskin akhirnya memperoleh beasiswa yang sejatinya bukan menjadi haknya.

Simpang siur


Kemendikbud selalu menjawab dengan dua hal untuk menampik lemahnya dapodik. Pertama, melemparkan masalah kepada daerah dengan alasan semua data berdasarkan pengolahan di daerah. Kedua, selalu berjanji akan terus memperkuat basis data baik dari segi jumlah siswa, jumlah guru, maupun kondisi sekolah di seluruh Indonesia. Diharapkan data tersebut dapat terinvetarisasi secara valid pada tahun 2012.

"Bukan salah sasaran, tetapi kita belum bisa menghimpun secara pasti, karena data yang kita gunakan data dari daerah. Ke depan kita akan miliki dapodik secara nasional," dikatakan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Pendidikan, Musliar Kasim beberapa waktu lalu.

Contoh lain adalah mengenai Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi. Data yang dimiliki Kemendikbud berbeda dengan data Badan Pusat Statistik (BPS), lain pula dengan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Data Kemendikbud mengenai APK Dikti hanya 16 persen, sementara BPS dan Bappenas masing-masing melansir 18 persen dan 26,3 persen.

Belum lagi saat menggulirkan program Bantuan Siswa Miskin (BSM), sasaran penerimanya juga tidak jelas. BPS melansir ada 40 juta jumlah masyarakat miskin, sedangkan dalam catatan Kemendikbud jumlah siswa miskin mencapai 70 juta jiwa.

Lemahnya dapodik berimbas pada amburadulnya layanan yang diberikan. Ada sebuah lelucon yang mengatakan, pembangunan pendidikan nasional tak akan optimal selama hanya melihat dari kacamata Jawa.

Tengok saja pelaksanaan Ujian Nasional (UN), dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Semua ketentuan diberlakukan sama, mulai dari bobot soal sampai pada standar kelulusannya masih belum adil, khususnya buat mereka, para peserta didik di timur Indonesia.

Seperti diketahui, UN dan SNMPTN dilaksanakan serba sama secara nasional, begitupun standar kelulusannya. Tidak akan terlalu masalah bagi siswa di kota besar yang kualitas pendidikannya dapat dan mungkin bisa melebihi rata-rata nasional. Tetapi bagaimana dengan siswa di daerah? Mereka menjerit, tapi tak terdengar.

Perbaiki validitas

Dalam sebuah pertemuan bersama Komisi X DPR, Ketua Indonesia Menggugat, Iwan Pranoto menyampaikan kritiknya pada pelaksanaan UN. Baginya, UN menjadi tidak logis dan tidak manusiawi saat hasilnya dijadikan penentu kelulusan. Pasalnya asupan pendidikan yang diterima para siswa masih berbeda berdasarkan kemampuan daerahnya.

"Akhirnya timbul kecurangan, itu karena pendidikan disuguhkan dengan cara yang kuno," ungkapnya.

Anggota Komisi X DPR, Dedi Gumelar menjadi salah satu anggota dewan yang paling sering menyoroti kelemahan dapodik. Baginya, kendala pembangunan pendidikan secara nasional lebih dikarenakan tiga hal, yakni data, data, dan data.

Dalam catatannya, ada kevakuman memperbarui dapodik selama lebih dari lima tahun. Itu mengapa dirinya selalu ragu akan validitas dapodik saat ini.

"Iya dong, data itu penting. Supaya kita memiliki peta untuk menyusun kebijakan semua program dan postur anggaran yang berdasarkan pada riset," kata Dedi kepada Kompas.com, Jumat (14/9/2012) pagi.

Itulah sepenggal potret mengenai kelemahan data pokok pendidikan. Belum ditambah dari sisi data tenaga pendidik yang kisruhnya masih tercium hingga saat ini. Terakhir adalah pelaksanaan Uji Kompetensi Guru (UKG) yang data pesertanya terbukti karut marut. Padahal, dapodik merupakan hal terpenting yang harus dimiliki pemerintah sebagai acuan dasar untuk melaksanakan semua programnya.
Editor :
Caroline Damanik

Jumat, 14 September 2012

Regulasi Pendidikan

akhmadsudrajat@2007
akhmadsudrajat@2007
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
PERATURAN PEMERINTAH
Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru
Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2009 tentang Dosen
Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan
Peraturan Pemerintah N0.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor. 10 Tahun 2008 tentang Perubahan Kesepuluh Atas Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah Nomor. 8 Tahun 2009 tentang Perubahan Kesebelas Atas Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.
PP Nomor. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
KETENAGAAN
Permendiknas RI Nomor. 12 th 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah
Permendiknas RI Nomor 13 th 2007 tentang Standar Kepala Sekolah
Permendiknas RI Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Laboratorium Sekolah/Madrasah
Permendiknas RI Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Konselor
Permendiknas RI Nomor 24 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/ Madrasah
Permendiknas RI Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/ Madrasah
SERTIFIKASI GURU DAN DOSEN
Permendiknas RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan
Permendiknas RI Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Dosen
Permendiknas RI Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Perguruan Tinggi Penyelenggara Sertifikasi Dosen Tahun 2008
Permendiknas RI Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
AKREDITASI SEKOLAH
Permendiknas No. 29 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Sekolah-Madrasah
Permendiknas No 11 Tahun 2009 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi SD-MI.
Permendiknas No.12 Tahun 2009 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi SMP-MTs
Permendiknas No. 52 Tahun 2008 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi SMA-MA
8 STANDAR PENDIDIKAN DI SEKOLAH
Permendiknas RI Nomor. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
Permendiknas RI Nomor 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian
Permendiknas Nomor 24 Tahuan 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah
Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
Permendiknas RI No. 40 Tahun 2008 tentang Standar Sarana dan Prasana SMK/MAK
Permendiknas Nomor 69 Tahun 2009 tentang Standar Pembiayaan
LAIN-LAIN
Permendiknas No. 3 tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2009.
Permendiknas RI Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya.
Permen dan Reformasi Birokrasi No. 21 tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya
Permendiknas No. 19 tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2010 untuk SMP.
Permendiknas No 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi
Permendiknas No 20 Tahun 2010 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria di Bidang Pendidikan

SCAMPER untuk Pembelajaran Kreatif dan Inovatif

SCAMPER adalah suatu teknik yang dapat digunakan untuk memicu kreativitas dan membantu para guru dalam mengatasi setiap tantangan yang mungkin dihadapi dalam setiap melaksanakan pembelajaran siswa. SCAMPER didasarkan pada pemikiran bahwa segala sesuatu yang baru merupakan modifikasi dari sesuatu yang sudah ada.
SCAMPER merupakan akronim dari setiap huruf menggambarkan cara yang berbeda dari yang sudah ada untuk memicu dan menghasilkan ide-ide baru dalam pembelajaran, baik yang berhubungan dengan tempat, prosedur, alat, orang, ide, atau bahkan suasana psikologis:
  • S = Subtitute (Mengganti)
  • C = Combine (Menkombinasikan)
  • A = Adapt (Mengdaptasi)
  • M = Magnify (Memperbesar)
  • P = Put to Other Uses (Meletakkan ke Fungsi Lain)
  • E = Eliminate (Menghilangkan atau Mengecilkan)
  • R = Rearrange/Reverse (Mengatur ulang)
Subtitute  adalah berusaha memikirkan dan melakukan penggantian  bagian dari masalah yang berkaitan dengan proses maupun hasil pembelajaran, dengan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya.
Combine adalah berusaha memikirkan dan melakukan penggabungan dua atau lebih bagian tertentu dari masalah yang berkaitan dengan proses maupun hasil pembelajaran untuk menciptakan proses atau hasil yang berbeda.
Adapt adalah berusaha memikirkan dan melakukan adaptasi ide yang sudah ada untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan proses maupun hasil pembelajaran Anda,
Magnify adalah berusaha memikirkan dan melakukan untuk pembesaran atau perluasan ide Anda yang dapat memberikan nilai tambah atau memberikan wawasan baru tentang komponen-komponen pembelajaran apa yang paling penting.
Put to Other Uses menempatkan ide Anda saat ini ke dalam bentuk lain  sehingga dapat memecahkan masalah  proses maupun hasil pembelajaran  yang Anda hadapi.
Eliminate adalah berusaha memikirkan dan melakukan penyederhanaan, pengurangan atau penghilangan komponen-komponen tertentu sehingga Anda dapat lebih fokus pada bagian atau fungsi yang paling penting.
Rearrange/Reverse berusaha memikirkan dan melakukan upaya penyusunan atau penataan ulang yang berbeda dari komponen atau prosesur yang sudah ada  sehingga dapat memberikan nilai tambah dibandingkan dengan sebelumnya.
Untuk menggunakan teknik SCAMPER, terlebih dahulu perlu dirumuskan secara jelas masalah pokok  pembelajaran yang ingin dipecahkan, ditingkatkan  atau  dikembangkan, baik yang berkaitan dengan proses maupun hasil.  Bisa dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, misalnya:
  • Bagaimana saya dapat meningkatkan aktivitas siswa  dalam proses pembelajaran yang saya lakukan?”
  • Bagaimana saya dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran yang saya lakukan?”
  • Bagaimana saya dapat mengembangkan proses pembelajaran yang menyenangkan?”
Selanjutnya, dengan mengacu pada resep SCAMPER, rumuskan beberapa pertanyaan spesifik yang berkaitan dengan apa yang ingin Anda kembangkan dalam proses pembelajaran, sesuai dengan tantangan dan permasalahan yang Anda hadapi.
Pertanyaan-pertanyaan ini akan mendorong Anda untuk berpikir secara berbeda tentang masalah proses pembelajaran yang Anda lakukan, dan pada akhirnya Anda dapat menemukan solusi inovatif.
Berikut ini disediakan contoh format tentang beberapa pertanyaan yang dapat diajukan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan metode pembelajaran yang Anda lakukan:
PERTANYAAN
JAWABAN
S =  ”Apa yang bisa saya ganti dalam metode pembelajaran yang saya lakukan?”
…………………………………………………….
…………………………………………………….
…………………………………………………….
C =  ”Bagaimana saya bisa menggabungkan metode pembelajaran yang saya lakukan dengan metode pembelajaran lain?”
…………………………………………………….
…………………………………………………….
…………………………………………………….
A =  ”Apa yang bisa saya adaptasi dari metode pembelajaran  yang telah dikembangkan oleh orang lain?”
…………………………………………………….
…………………………………………………….
…………………………………………………….
M =  ”Apa yang bisa saya perbesar atau perluas dari metode pembelajaran  yang saya lakukan?
…………………………………………………….
…………………………………………………….
…………………………………………………….
P = “Bagaimana saya dapat menempatkan metode pembelajaran yang saya lakukan agar dapat menghasilkan manfaat lain?”
…………………………………………………….
…………………………………………………….
…………………………………………………….
…………………………………………………….
E  = “Apa  yang bisa saya hilangkan atau sederhanakan dari metode pembelajaran yang saya lakukan?
…………………………………………………….
…………………………………………………….
…………………………………………………….
R = “Bagaimana saya dapat mengubah dan menyusun ulang metode pembelajaran yang saya lakukan?
…………………………………………………..
…………………………………………………..
…………………………………………………..
Catatan:
Tulisan ini adalah adaptasi dan modifikasi dari konsep SCAMPER yang dikembangkan dalam dunia bisnis, tentu masih perlu dielaborasi lebih jauh.  Semoga bermanfaat dan selamat berkreasi dan berinovasi!

Jumat, 27 Juli 2012

Sekolah Menengah Pertama

Lulusan sekolah menengah pertama dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan (atau sederajat). Pelajar sekolah menengah pertama umumnya berusia 13-15 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar (atau sederajat) 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun.
Sekolah menengah pertama diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan sekolah menengah pertama negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota. Sedangkan Kementerian Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, sekolah menengah pertama negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/kota.
Untuk belajar di SMP/MTs atau yang sederajat, anak-anak usia SMP dapat memilih sekolah yang sesuai dengan pilihan dan kesempatan yang dimiliki, seperti:
  1. SMP Negeri atau SMP Swasta Biasa
  2. SD-SMP Satu Atap
  3. SMP Terbuka
  4. MTs Negeri atau MTs Swasta atau sekolah lainnya yang sederajat
  5. Pondok Pesantren Salafiyah yang menyelenggarakan program Wajib Belajar
Sekolah Menengah Pertama yang disingkat dengan SMP merupakan jenjang pendidikan dasar pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus sekolah dasar (atau sederajat). Sekolah menengah pertama ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 7 sampai kelas 9. Saat ini Sekolah Menengah Pertama menjadi program Wajar 9 Tahun (SD, SMP).