Rabu, 11 Juli 2012

Menjadikan Kurikulum sebagai Sahabat Siswa

(Refleksi Menjelang Tahun Pelajaran Baru)
Tidak lama lagi, dunia persekolahan kita akan kembali menggeliat dan ceria oleh celoteh dan perilaku anak-anak. Tahun pelajaran 2012/2013 memasuki lembaran baru. Anak-anak dengan segenap potensi yang ada dalam dirinya memancangkan tekad untuk menjadi generasi masa depan yang “utuh” dan “paripurna”. Mereka bagaikan memasuki “masyarakat baru”; masyarakat mini yang memberikan ilustrasi bagaimana seharusnya mereka belajar dan bersosialisasi dengan lingkungan. “Alam Takambang Jadi Guru”, begitulah kata pepatah Minang. Anak-anak belajar dan mencari rujukan berdasarkan alam dan lingkungan. Sebagai bagian dari “kurikulum kehidupan”, sekolah memiliki andil yang cukup besar dalam membangun karakter dan kepribadian seorang anak.
kurikulumDalam situasi demikian, kita kembali diingatkan tesis Thomas Amstrong bahwa setiap anak pada dasarnya terlahir jenius yang memiliki 12 ciri yang cukup mendasar, yakni rasa ingin tahu yang besar, jenaka, imajinatif, kreatif, rasa takjub, bijaksana, penuh daya cipta, penuh vitalitas, peka, fleksibel, humoris, dan gembira. Beranjak dari tesis ini idealnya dunia persekolahan kita mampu menghadirkan atmosfer kegembiraan dalam belajar, sehingga anak-anak mampu mengembangkan potensi jenius yang ada dirinya secara optimal.
Pertanyaannya kemudian, sudahkah kurikulum pendidikan kita benar-benar mampu menjadi sahabat siswa? Sudahkah dunia persekolahan kita sanggup menciptakan ruang keceriaan dan kegembiraan ke dalam dunia siswa sehingga talenta kejeniusan mereka bisa tumbuh dan berkembang secara optimal? Sudahkah para pemangku kepentingan pendidikan kita benar-benar berpihak pada siswa dengan menghadirkan perangkat kebijakan yang memosisikan siswa sebagai subjek pendidikan yang sesungguhnya?
Secara jujur mesti diakui, dunia persekolahan kita belum sepenuhnya mampu memerankan dirinya sebagai salah satu “pusat kebudayaan” yang berupaya penuh untuk “memanusiakan manusia” secara “utuh” dan “paripurna”. Bahkan, dalam pandangan Thomas Amstrong, sekolah juga memiliki andil dalam merusak kejeniusan anak. Hal itu tampak melalui proses pembelajaran yang kaku, buku pelajaran yang kering, banyaknya latihan soal, tes dan ujian telah membuat anak-anak kehilangan rasa gembira, rasa takjub, rasa ingin tahu, keinginan mengeksplorasi, dan sifat jenaka. Ruang-ruang kelas tak ubahnya kerangkeng penjara yang pengap dan menyesakkan. Jam pelajaran efektif bagaikan momen yang menegangkan, menakutkan, menyiksa, dan menyengsarakan siswa. Tidak berlebihan apabila sebagian besar siswa meneriakkan pekik “merdeka” begitu bel pulang terdengar sebagai ekspresi atas keterbebasan mereka dari situasi menjenuhkan dan membosankan. Berjam-jam lamanya mereka seperti tersekap dalam ruang karantina yang tidak memberikan ruang bagi mereka untuk bertindak kritis, cerdas, dan kreatif.
Suasana di sekolah yang kaku dan membosankan semacam itu diperparah dengan hilangnya ruang keceriaan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Di dalam lingkungan keluarga, misalnya, orang tua tak jarang “memaksakan kehendak” dengan menguasai emosi dan jiwa anak-anak secara utuh. Mereka dipaksa untuk menjadi “orang” seperti kehendak sang ortu yang belum tentu sesuai dengan minat dan kemampuan sang anak. Anak-anak tak jarang dipaksa menjadi seorang dokter, meski mereka menunjukkan talenta luar biasa di bidang musik. Sikap abai ortu terhadap minat dan talenta anak, disadari atau tidak, telah membunuh imajinasi dan kreativitas anak sebagai ciri anak jenius.
Sementara itu, di tengah-tengah lingkungan masyarakat, anak-anak masa sekarang juga “gagal” menemukan ruang bermain yang tepat untuk berekspresi dan bersosialisasi. Lapangan sepak bola, misalnya, telah disulap menjadi mall, supermarket, atau pasar global serba mewah. Hampir tak ada sejengkal tanah pun tersisa untuk ruang bermain anak-anak. Dari sisi ini, kehadiran kaum kapitalis yang tak pernah berhenti mengibarkan bendara konsumtivisme, materialisme, dan hedonisme, juga memiliki andil yang cukup besar terhadap mandulnya kejeniusan anak-anak. Sangat beralasan apabila sikap jujur dan bersahaja saat ini makin sulit ditegakkan karena sejak kecil anak-anak sudah biasa bergaul dengan nilai-nilai konsumtivisme dan materialisme.
Di tengah situasi sosial yang makin abai terhadap nilai-nilai kejujuran dan kebersahajaan semacam itu, dunia persekolahan kita diharapkan mampu menjadi filter dan benteng terakhir terhadap meruyaknya nilai-nilai anomali sosial yang terus menggerus ruang-ruang kehidupan. Kurikulum yang selama ini hanya dipahami sebagai sebagai konsep dan teks semata, perlu diterjemahkan lebih lanjut secara aplikatif dan benar-benar bersahabat dengan siswa. Proses pembelajaran sebagai “roh” kurikulum mesti terus direvitalisasi dengan menghadirkan ruang-ruang kelas yang hidup, ceria, dan menggembirakan. Guru yang berdiri di garda terdepan dalam proses pembelajaran, perlu menjadi inovator-inovator ulung yang senantiasa memperlakukan siswa sebagai sosok jenius dan sang juara di bidangnya masing-masing.
Jangan sampai terjadi, kurikulum pendidikan kita menjadi “mesin pembunuh” talenta dan kejeniusan siswa. Kurikulum bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk melahirkan generasi masa depan yang “utuh” dan “paripurna”. Kurikulum yang dipahami secara “zakelijk” dan tekstual hanya akan melahirkan generasi masa depan yang cerdas otaknya, tetapi bebal nuraninya, lantaran bilah otak kanannya tak pernah tersentuh oleh asupan emosi yang mencerahkan.
Nah, selamat memasuki tahun pelajaran baru dan selamat berkarya untuk bangsa! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar