Kamis, 28 Juni 2012

Pendidikan di Indonesia


Membicarakan  yang satu ini mungkin tidak akan ada habisnya. dengan keadaan sekarang ini,  ditandai dengan demo di sejumlah tempat yang pada dasarnya menuntut pendidikan murah. Tapi saya tidak ingin menulis tentang demo tersebut. Saya hanya ingin menceritakan beberapa keluhan handai taulan tentang pendidikan ini.
Salah satu teman saya, agak berang, bilang “Masak sudah ada BOS, kita masih harus bayar Rp. 15.000 per bulan? Di SD lainnya kok enggak bayar lagi.”. Kebetulan memang anaknya berada di SD Negeri 2, dimana ada 3 SDN dalam satu lingkungan sekolah.
Saya coba jadi counter-nya, “Mungkin di SD nya banyak ekstra kurikuler. Sudah cek atau belum? Ada komputer atau enggak?”.
Dia langsung menyanggah, “Ah enggak ada kayak gituan. sama aja!”
Akhirnya lama berdebat, bahkan ditambah satu orang lagi. Cuma jadi kemana-mana buntutnya. Menuduh Kepala Sekolah  korupsi, Guru korupsi,  Masya Allah. Setelah lama berdebat, disimpulkan bahwa sebagian dana anggaran orang tua tadi digunakan untuk perbaikan WC, prasarana gedung, tiang bendera, biaya mencat pagar dan lain-lain.
Akhirnya, saya merasa menyadari ada ketidak-adilan disini. Kalau sudah tidak adil, pasti melanggar Pancasila, “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Kita bisa bandingkan SD Negeri di tengah kota dengan SD Negeri di kampung. Terasa sekali ketimpangan sosial antara kedua SD tersebut. Berita hari ini, ada satu SDN yang roboh.
Menurut ‘mata-adil’ saya, seharusnya setiap Sekolah Negeri di negeri ini mempunyai prasarana yang sama, baik di pedalaman Papua sana, atau yang berada di pusat kota Jakarta. Tidak boleh dibedakan. Karena ini Sekolah Negeri (atau Sekolah miliknya negara), maka tidak boleh juga menerima sumbangan dari pihak lain. Mutlak harus dibiayai negara.
Perbedaan Uang Pangkal juga menjadi pertanyaan. Kok, sama sama sekolah negeri uang pangkal berbeda? Tiap sekolah pasti punya jawaban (atau alasan) mengapa mereka menarik uang pangkal sedemikian besar. Uang sejenis inipun harus ditiadakan untuk sekolah Negeri. Alasannya sama dengan di atas, tidak boleh ada perbedaan antar sekolah negeri.
Tentu lain halnya dengan sekolah swasta, yang sah-sah saja menerima sumbangan dari pihak manapun.  Saya tidak tahu keadaan makro dari Anggaran Belanja Negara untuk pendidikan yang konon terlalu kecil. Saya juga tidak mengetahui kondisi dana subsidi Minyak (yang jadi BOS).
“Kaca mata” saya mungkin perlu diperbaiki, untuk menentukan apakah cukup adil kondisi di atas. Apakah benar pendapat saya, bahwa setiap Sekolah Negeri harus memiliki prasarana yang sama? Saya sendiri masih belum yakin.
Kok saya jadi merasa bahwa Negara tidak mampu memberikan pendidikan kepada warganya, seperti yang tercantum dalam UUD 45.
Akhirnya saya menghitung-hitung sendiri dengan jari, idealnya,
  • satu orang peserta didik tingkat SD membutuhkan biaya pendidikan Rp. 1.500.000,-/tahun
  • satu orang peserta didik tingkat SMP membutuhkan biaya pendidikan Rp. 2.500.000,-/tahun
  • satu orang peserta didik tingkat SMA/SMK membutuhkan biaya pendidikan Rp. 3.500.000,-/tahun
Sementara berapa dana BOS yang diberikan oleh pemerintah ?
Lalu kemana sekolah akan mencari kekurangannya?
Dilain pihak para politisi berteriak-teriak dengan jargon pendidikan gratis ?
Menurut “kacamata” saya yang rusak ini, rendahnya biaya pendidikan menjadi faktor utama merosotnya mutu pendidikan kita tapi benarkah ? saya sendiri jadi ragu, soalnya kemarin dengan “kacamata” rusak ini pula saya melihat beberapa kontraktor menyelipkan komisi 30% untuk mengerjakan proyek pendidikan begitu juga Kepala-Kepala sekolah menyelipkan setoran 25% untuk mendapatkan dana Blog grant yang seharusnya menjadi hak sekolahnya.
Haduuuuuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhhhhh,,,, MHUMHET AKU…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar